Anda, sebagai konsumen, tentu sudah pernah mempunyai ‘perjalanan belanja’ dengan keluarga maupun sendiri untuk beli celana jins baru, baju baru, atau produk lainnya. Mungkin, yang saya alami mirip seperti yang Anda alami :
Sampai di tempat parkir, disambut tukang parkir
Dekat pintu masuk, disapa oleh satpam
Saat mencari-cari produk, disapa dan dibantu oleh SPG
Sebelum mencoba, Anda dilayani petugas di kamar ganti
Setelah mencoba, Anda mungkin dilayani SPG lain saat Anda cari ukuran lainnya
Terakhir untuk membayar, Anda dilayani kasir (seorang yang lain lagi, Anda tidak temui di langkah sebelumnya)
Apakah Anda alami yang sama?
Hampir setiap langkah belanja ditangani oleh orang yang berbeda. Setidaknya demikian di Indonesia. Keseluruhan perjalanan berbelanja sebenarnya terdiri dari beberapa langkah pendek dan penting untuk menjaga mood belanja Anda. Perjalanan belanja Anda begitu penting sehingga pemilik toko menginvestasikan jam kerja karyawan-karyawan nya untuk setiap langkah pada perjalanan tsb. Demikianlah prosesnya pada toko-toko offline
Sebaliknya, saat Anda berbelanja online, e-commerce tidak menerapkan hal yang sama. Bukannya tiap orang untuk tiap langkah, tapi karyawan e-commerce akan mengikuti terus perjalanan belanja Anda dari awal sampai akhir.
Satu Customer Service menyapa
Perbedaan tsb menimbulkan pertanyaan :
- Dengan bertambahnya konsumen, bagaimana pertambahan customer service untuk bisnis yang efisien?
- Untuk melayani konsumen lebih baik, alat apa yang membantu customer service dalam melakukan proses bisnis internal sehari-hari? Saluran penjualan apa yang sebaiknya dipakai untuk menjangkau konsumen online?
- Lalu, bagaimana mencapai proses internal bisnis online (e-commerce) yang efisien dari mulai saat konsumen bertanya sampai barang dikirim? Dan bagaimana mendayagunakan saluran-saluran penjualan online yang ada?
Klien kami mempercayakan kick-off dan eksekusi online bisnisnya kepada kami untuk dikelola. Kami sudah berjalan beberapa tahun sampai sekarang. Banyak pengalaman yang kita lalui bersama dan akan kami rangkum sebagai studi kasus di bawah. Kami membagi menjadi 3 pembelajaran : Sumber, Software, dan Sinkronisasi
Sumber & Platform
Sebelum :
Awalnya, klien kami mempunyai ide untuk memajang foto produk di instagram untuk memperluas jangkauan tokonya. Dari penjelasan klien tsb, kami melihat bahwa ada orang khusus yang ditunjuk menjalankan kegiatan itu. Orang tsb memiliki tugas yang cukup sederhana : jepret beberapa produk yang ada di rak toko offline, beri sentuhan akhir agar fotonya terlihat bagus, lalu pajang online di Instagram. Harapannya, warganet dapat mulai memberi berbagai balasan seperti direct chat, komentar, suka, retweet/repost, dll. Jadi, awal dari sebuah e-commerce sudah dimulai. Penjualan lalu dimonitor selama beberapa tahun tapi, sayangnya, angka penjualan tidak sesuai harapan.
Setelah :
Saat kami mulai terlibat, kami mempelajari cara penjualan online; perjalanan konsumen berbelanja secara online melalui ‘toko online’ klien kami. Kami mendapati bahwa chatting saja tidak cukup untuk menjalankan sebuah e-commerce, apalagi hanya chatting pada 1 platform / sumber. Sebuah bisnis online perlu memiliki beberapa titik interaksi agar lebih mudah dijangkau konsumen. Terlebih lagi, waktu yang dibutuhkan untuk melayani konsumen sangat banyak karena konsumen dilayani satu per satu melalui satu platform chatting.
Salah satu saran kami adalah menambah sumber dan titik interaksi konsumen. Bukan hanya dari marketplace, media sosial, atau platform chatting, tapi kami juga mendorong pembuatan website untuk ‘membelokkan’ calon-calon konsumen ke website sendiri. Saat ini, klien kami sudah dapat dengan mudah dijangkau dari 2 platform chatting, 3 marketplace, 3 sosial media, dan website mereka sendiri. Penjualan naik 50% sampai dengan saat ini.
Software & Proses
Sebelum :
Saat personil pengurus e-commerce melakukan ‘deal’ dengan konsumen, transaksi ditulis menggunakan pena di atas kertas. Saat toko tutup, transaksi e-commerce hari itu dikumpulkan dan diinput sekaligus ke sistem kasir pada toko offline. Tidak jarang, konsumen juga meminta ‘real pic’ atau foto produk saat itu pada saat chat. Barang yang dipindahkan dari personil gudang ke customer service tidak pernah dicatat dimana akan nantinya menimbulkan masalah saat ada retur atau stok opname. Bahkan, karena hal-hal di atas, resi juga perlu ditulis tangan, label pada kemasan ditulis tangan, dan laporan selalu terlambat karena membutuhkan waktu yang lama untuk membuatnya.
Setelah :
Hal pertama yang kami desak klien kami adalah penerapan software, setidaknya point of sales software yang terpisah dari sistem kasir toko offline. Pengalaman kami juga meyakinkan kami bahwa software saja tidak cukup, perlu ada proses bisnis yang definitif. Maka, standard operating prosedur (SOP) memiliki peran penting. Karyawan klien kami perlu dipandu oleh SOP, bukan dipandu oleh alur software. Kami menyaksikan tantangan mereka bekerja tanpa SOP dan bagaimana kesalahan dibuat lalu diperbaiki, walaupun dengan cara yang sangat sulit dan waktu yang lama. Akhirnya, kami menyarankan penerapan SOP dan pencatatan digital setiap aktivitas sebagai 2 hal dengan prioritas tinggi.
Saat ini, perbaikan-perbaikan dari SOP terus berjalan. Perbaikan tsb berasal dari implementasi untuk menuju SOP yang sempurna. Data alur proses internal dibuat terang secara digital. Dan, karena alur bisnisnya berbeda dengan offline. software yang diterapkan pun berbeda dari kasir toko offline. Kami membangun software khusus untuk bertransaksi di e-commerce klien kami. Contoh dari fungsi software yang kami bangun : perpindahan barang keluar dari gudang, pencatatan digital barang masuk ke customer service, retur ke gudang, dipesan konsumen, ditransaksikan, pembuatan resi otomatis, pencocokkan bank transfer dengan mutasi, pencatatan alamat dan label kemasan, dan banyak fungsi lain. Akhirnya, runtutan pencatatan digital melalui software tsb membuat laporan mudah dibuat dan dilaporkan tepat waktu
Sinkronisasi & Manusia
Sebelum :
Sebelum memperluas channel penjualan, salah satu karyawan klien kami mendekati kami dan berkata bahwa dia memiliki ide untuk menunjuk orang khusus mengelola marketplace. Saat hal itu terjadi, channel penjualan mereka hanya chatting. Mereka merasa chatting saja sudah terlalu sibuk, apalagi menambah saluran penjualan lainnya. Ide untuk memperluas saluran penjualan menjadi mimpi buruk bagi mereka karena ketakutan untuk mengkoordinasikan seluruh channel tsb. Belum lagi, koordinasi antar departemen secara internal saat itu masih tidak efisien karena personil sibuk mengklarifikasi berulang-ulang sebuah informasi yang sama ke orang yang berbeda. Juga, data yang tergabung antara transaksi online dan offline dalam satu sistem membuat penggunaan sistem menghasilkan kebingungan daripada kemudahan.
Setelah :
Sebuah e-commerce terdiri dari banyak sistem, misalnya point of sales, inventory, marketplace, website, dll. Sebuah e-commerce juga berinteraksi secara sistem maupun secara bisnis ke pihak lain, misalnya ekspedisi dan penyedia saluran pembayaran. Kami mendorong klien kami mengkoordinir atau membuat sinkronisasi untuk seluruh sistem-sistem yang ada. Bukan hanya ke pihak luar, tapi juga antar departemen di dalam perusahaan. Tujuan kami adalah mencapai efisiensi optimal dalam menjalankan proses-proses bisnis sehari-hari. Agar, aktivitas staff klien kami menjadi efektif untuk dapat melayani lebih banyak lagi konsumen dalam waktu kerja yang sama.
Secara berangsur, kami berhasil menerapkan sinkronisasi tsb. Contohnya untuk sinkronisasi secara sistem dari website ke pihak luar, yaitu ekspedisi. Hal ini memotong banyak aktivitas staff klien kami, seperti menulis tangan resi, menghitung manual ongkos kirim setiap penjemputan barang, menghilangkan konfirmasi alamat konsumen, dll. Selain itu, dari software terintegrasi yang dijelaskan di atas, kami percaya diri untuk membuat claim bahwa informasi dan alur bisnis klien kami antar departemen dalam perusahaan sudah meningkat efisiensi nya. Terakhir, kami dalam proses diskusi dengan marketplace, rekan kami, untuk membuat sinkronisasi secara sistem secara otomatis. Sebelum hal itu terjadi, secara bersamaan, kami juga akan menerapkan proses semi-otomatis dengan cara export-import data dari marketplace ke sistem klien kami.
Sebagai kesimpulan, perbedaan nyata tidak lagi bisa dipungkiri bahwa bisnis online dan toko offline memiliki kontras yang perlu diadopsi perusahaan masa kini. Di dalam maupun luar perusahaan, ada perbedaan dasar antara online dengan offline, contoh kami di atas adalah mengenai channel penjualan, alur dan proses bisnis, kebutuhan software yang berbeda, dan kebutuhan sinkronisasi antar sistem dan manusia dari seluruh pihak yang terlibat. Kita telah membahas semua contoh tsb dan kita mengerti bahwa menyempurnakan seluruh komponen tsb membutuhkan sumber daya, usaha, pengetahuan teknologi, pengelolaan sumber daya manusia, dsb yang tidak sedikit untuk mencapai hasil yang diinginkan. Rangkuman kondisi yang kita bahas di atas ada pada tabel :
Sebelum | Sesudah | |
Ekspansi lebih dari 1 sumber penjualan | ||
Pengembangan beberapa titik interaksi konsumen | ||
Penerapan website | ||
Sistem kasir khusus untuk transaksi online | ||
Software lain yang mendukung alur bisnis online | ||
Pencatatan digital setiap proses bisnis internal | ||
Pembuatan laporan yang tepat waktu dan efisien | ||
Penerapan Standard Operating Procedure | ||
Koordinasi antar unit dalam proses bisnis | ||
Sinkronisasi sistem ke pihak ketiga secara otomatis maupun semi-otomatis | ||
Aktivitas pekerja yang terpadu |
Akhirnya, hal terpenting dari itu semua, ukuran kesuksesan kami bukan hanya sebuah indeks efisiensi yang abstrak tapi kami mempersilakan Anda, calon klien kami, mengukur kesuksesan kita bersama dari bagaimana bisnis Anda berkembang sebagai ‘efek samping positif’ sebuah bisnis yang efisien prosesnya.
Baca lebih banyak dari tautan di bawah :
Kami mengerti bahwa kasus di perusahaan Anda memiliki kerumitan yang berbeda
Silakan ceritakan kepada kami dengan mengisi formulir singkat di bawah ini atau klik FREE Session
.